BORDERLINE PERSONALITY DISORDER (GANGGUAN KEPRIBADIAN AMBANG)
Disebut dengan kepribadian ambang (borderline) karena berada di perbatasan antara gangguan neurotik dan skizofrenia. Ciri-ciri utama gangguan ini adalah impulsivitas dan ketidakstabilan dalam hubungan dengan orang lain dan memiliki mood yang selalu berubah-ubah. Contohnya, sikap dan perasaan terhadap orang lain dapat berubah-ubah secara signifikan dan aneh dalam kurun waktu yang singkat. Individu yang mengalami gangguan borderline memiliki karakter argumentatif, mudah tersinggung, sarkastik, cepat menyerang, dan secara keseluruhan sangat sulit untuk hidup bersama mereka.
Perilaku mereka yang tidak dapat diprediksi dan impulsif, boros, aktivitas seksual yang tidak pandang bulu, penyalahgunaan zat, dan makan berlebihan, berpotensi merusak diri sendiri. Mereka tidak tahan berada dalam kesendirian, memiliki rasa takut diabaikan, dan menuntut perhatian. Mudah mengalami perasaan depresi dan perasaan hampa yang kronis, mereka sering kali mencoba bunuh diri.
Gangguan kepribadian borderline bermula pada masa remaja atau dewasa awal, dengan prevelensi sekitar 1 persen, dan lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki.
Etilogi gangguan kepribadian borderline
Penyebab terjadinya gangguan kepribadian borderline antara lain dapat dijelaskan oleh kedua pandangan berikut:
Faktor biologis
Faktor-faktor biologis antara lain disebabkan oleh faktor genetis. Gangguan kepribadian borderline dialami oleh lebih dari satu anggota dalam satu keluarga. Beberapa data menunjukkan adanya kelemahan fungsi lobus frontalis, yang sering diduga berperan dalam perilaku impulsif. Individu dengan gangguan borderline mengalami peningkatan aktivasi amigdala, suatu struktur dalam otak yang dianggap sangat penting dalam pengaturan emosi.
Linehan’s diathesis-stress theory
Menurut teori ini, gangguan kepribadian borderline berkembang ketika individu dengan diatesis biologis (kemungkinan genetis) di mana ia mengalami kesulitan untuk mengontrol emosi, dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang salah (invalidating). Dalam teori ini, diatesis biologis disebut sebagai emotional dysregulation. Sedangkan invalidating experience adalah pengalaman di mana keinginan dan perasaan individu diabaikan dan tidak dihormati; usaha individu untuk mengkomunikasikan perasaannya tidak dipedulikan atau bahkan diberi hukuman. Salah satu contoh ekstremnya adalah kekerasan pada anak, baik secara seksual maupun nonseksual. Dengan kata lain, emotional dysregulation saling berinteraksi dengan invalidate experience anak yang sedang berkembang. Hal itulah yang kemudian memicu perkembangan kepribadian borderline.
Perspektif Psikososial Mengenai Borderline Personality Disorder
a) Psikodinamik
Individu dengan gangguan kepribadian borderline sering kali mengembangkan mekanisme defense yang disebut splitting, yaitu mendikotomikan objek menjadi semuanya baik atau semuanya buruk dan tidak dapat mengintegrasikan aspek positif dan negatif orang lain atau diri menjadi suatu keutuhan. Hal itu menimbulkan kesulitan yang ekstrem dalam meregulasi emosi karena individu borderline melihat dunia, termasuk dirinya sendiri, dalam dikotomi hitam-putih. Bagaimanapun juga, defense ini melindungi ego yang lemah dari kecemasan yang tidak dapat ditoleransi.
Teori ini merupakan teori dari psikoanalisa yang memfokuskan diri pada bagaimana cara anak mengintroyeksikan nilai-nilai dan gambaran yang berhubungan dengan orang-orang yang dianggap penting dalam hidupnya, misalnya orang tua. Dengan kata lain, fokus dari teori ini adalah cara anak mengidentifikasikan diri dengan orang lain di mana ia memiliki emotional attachment yang kuat dengan orang tersebut. Orang-orang yang diintroyeksikan tersebut menjadi bagian dari ego si anak pada masa dewasa, tetapi dapat menimbulkan konflik dengan harapan, tujuan, dan ideal-idealnya.
Teori ini beranggapan bahwa individu bereaksi terhadap dunia melalui perspektif dari orang-orang penting dalam hidupnya pada masa lalu, terutama orang tua atau caregiver. Terkadang perspektif tersebut berlawanan harapan dan minat dari individu yang bersangkutan. Otto kernberg, salah seorang tokoh dalam teori ini menyatakan bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan pada masa kanak-kanak, misalnya mempunyai orang tua yang memberikan cinta dan perhatian secara tidak konsisten (menghargai prestasi anak, tetapi tidak dapat memberikan dukungan emosional dan kehangatan), dapat menyebabkan anak mengembangkan insecure egos (bentuk umum dari gangguan kepribadian borderline).
Beberapa hasil penelitian juga mendukung teori ini. Individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline menyatakan kurangnya kasih sayang dari ibu. Mereka memandang keluarga mereka tidak ekspresif secara emosional, tidak memiliki kedekatan emosional, dan sering terjadi konflik dalam keluarga. Selain itu, mereka biasanya juga mengalami kekerasan seksual dan fisik serta sering mengalami perpisahan dengan orang tua pada masa kanak-kanak.
Bagaimanapun juga, hasil-hasil penelitian tersebut masih belum dapat menyatakan secara jelas apakah pengalaman-pengalaman itu memang hanya dialami oleh mereka dengan gangguan kepribadian borderline saja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa individu yang mengalami gangguan kepribadian borderline mempunyai pengalaman masa kecil yang tidak menyenangkan. Namun belum jelas apakah pengalaman tersebut bersifat spesifik bagi gangguan ini.
b) Behavioral
Orang dengan gangguan borderline biasanya dibesarkan oleh pola asuh maladaptive, ditinggalkan pengasuh, dan memiliki trauma abuse saat kecil. Hal ini membuat mereka saat dewasa menjadi haus akan perhatian dan kasih sayang, sangat sensitive,
c) Cognitive
Pada beberapa kasus, ditemukan pula cara berpikir orang paranoid, yaitu penuh kecurigaan terhadap orang lain.
d) Humanistic
Orang dengan gangguan borderline cenderung tidak yakin tentang identitas pribadi mereka (nilai, tujuan, karir, dan bahkan orientasi seksual). Ketidakstebilan dalam self-image atau identitas pribadi membuat mereka dipenuhi perasaan kekosongan dan kebosanan yang terus-menerus.
e) Interpersonal
Orang dengan tipe borderline ide ketakutan akan ditinggalkan menjadikan mereka pribadi yang melekat dan menuntut dalam hubungan sosial mereka, namun kelekatan mereka sering kali malah menjauhkan orang-orang di sekitarnya. Tanda-tanda penolakan membuat mereka menjadi sangat marah, yang membuat mereka menjadi lebih jauh lagi. Akibatnya, perasaan mereka terhadap lingkingan menjadi berubah-ubah. Mereka cendreung mamandang orang lain sebagai semua-tentangnya-baik dan semua-tentangnya-buruk, karena berubah-ubah dengan cepat dan ekstrem.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar