Pagi itu
dengan berbekal sebuah surat pernyataan dan tekad yang besar aku memberanikan
diri untuk meminta ijin dari ayah untuk segera masuk kedalam dunia kerja. Bukan
hanya surat, namun hasil dari berbagai tes yang telah ku lalui pun ikut serta
didalamnya sebagai pendukung jika ayah meminta bukti kesiapan ku untuk memasuki
dunia yang kejam itu.
“ayahhh… Maya boleh minta tanda tangan ayah gak disurat ini?” manja ku pada ayah
“surat apa?” sambil membaca isi surat
“surat pernyataan Yah, Maya mau minta ijin untuk kerja di sebuah perusahaan ternama, emang sih Cuma jadi buruh ajah tpi, Maya yakin berawal dari menjadi seorang buruh, Maya akan menjadi pemilik nya Yah. Gimana? Maya juga sudah ikut test kok, dan semua hasilnya bagus kok, ayah bisa lihat sendiri lampirannya”. Mencoba meyakinkan dengan berbagai alasan.
Tanpa berlama-lama ayah pun
langsung memutuskan, dan miris nya tanpa komentar yang pasti, ayah tidak
mengijinkan ku untuk langsung masuk dunia kerja, dia lebih memilihkan ku untuk
masuk ke perkuliahan dulu, baru setelah itu ayah menyerahkan semua keputusannya
padaku, mau jadi apa setelah aku menjadi wisudawati.
“mending kamu kuliah dulu, baru setelah jadi wisudawati, ayah menyerahkan semua keputusannya sama kamu, apa kamu masih mau jadi seorang pekerja atau menjadi orang yang memberikan pekerjaan.” Tegas ayah kepada ku
Sontak aku sedih, dari 30 teman
sekelas ku hanya 5 orang saja yang lanjut ke perkuliahan, sisanya menjadi
pekerja di berbagai perusahaan. Dan keirian itu bertambah tatkala aku melihat
mereka yang sudah memiliki uang sendiri bisa begitu mudahnya membeli apa yang
mereka inginkan tanpa harus meminta lagi dari orang tua mereka.
Dengan segala keterpaksaan
akhirnya aku manut pada perintah ayah untuk kuliah di salah satu intitusi, ayah
yang pada saat itu memang bersikeras memasukan ku ke institusi bahkan sampai
rela menemani ku dalam setiap proses yang harus kulewati, mengantar dan menjemput,
bahkan menunggu ku diparkiran. Padahal sebelum ini ayah belum pernah melakukan
hal yang benar-benar dilakukan seorang ayah kepada anaknya, dimana semuanya
hanya urusan pekerjaan dan pekerjaan.
Tak pelak aku pun bingung
dibuatnya, kenapa ayah bersikeras ingin menjadikan aku seorang wisudawati? Kenapa
ayah tak membiarkan aku untuk kerja saja? Bukankah penghasilan ku kelak bisa
membantu juga? Bukankah biaya perkuliahan itu tidak murah? apa yang sebenarnya
ayah harapkan? Dan berbagai pertanyaan lain pun membuat ku semakin
bertanya-tanya dalam pikiran yang semakin buntu.
Memasuki tahun ajaran pertama aku
mulai perkuliahan ku dengan bermain-main. Bagaimana tidak, mimpi ku untuk bisa
bekerja masih lebih besar ketimbang harus mengenyam ilmu di perkuliahan, jarang
mengerjakan tugas, bermalas-malasan, pergi kesana kemari mencari teman untuk
bermain, tapi, sebesar apapun rasa malas ku, aku tak pernah absen ( bolos )
dikelas. Aku selalu masuk dan mengikuti pelajaran dengan baik, sekalipun
perlajaran itu seperti angin yang keluar masuk begitu saja.
Pada tingkat awal juga aku
menemukan “CCP”, yap mereka sahabat ku tercinta yang sampai saat ini masih setia
menemani ku dalam berbagai kondisi. Kami terbentuk begitu saja dengan tidak langsung
akrab begitu saja, kemana-mana selalu berlima, makan, main, karaokean, nonton
atau sekedar melakukan kegilaan lainnya. Praktis tingkat satu hanya kami lalui
dengan hal yang menurut ku gak ada tantangannya, seperti permainan di level
satu yang mudah sekali untuk dilewati.
Masuk ke tingkat 2, kami harus
menghadapi kenyataan pahit. Salah satu dari kami harus pindah yang membuat kami
terpisahkan oleh jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh yaitu Depok – Bekasi,
hanya jadwal yang berbeda membuat kami seolah tidak mungkin menjalin
kebersamaan seperti dulu di tingkat satu. Sedih? Pasti ! secara kami selalu
berdekatan entah dalam situasi dan kondisi apapun.
Selanjutnya kelas 2EB** lah yang
menjadi tempat pemberhentian berikutnya untuk aku, dank ke-3 teman ku, tpi,
ternyata hal pahit itu harus aku jalani lagi, salah satu teman kami harus
pindah lagi karena mendapatkan beasiswa dari institusi kami. Awalnya satu, lalu
satu lagi, dan hampir satu lagi, tpi tidak jadi.. hehehee dan tersisalah kami
bertiga dikelas yang terkenal dengan nama “Kelas Awal”.
Pada awal tingkat ini pun aku
masih saja berkutat dengan kemalasan dan keegoisan ku, hingga akhirnya
peristiwa itu terjadi. Peristiwa yang merubah semuanya.
Waktu itu aku dan sahabat ku yang
lain sedang berada di mushola, disebuah pusat perbelanjaan megah di Bekasi.
*telepon berdering*
“assalamual’aikum, kenapa yah?”
“waalaikum salam, kamu dimana?” suara lirih
“Maya lagi di mall sama temen, baru ajah selesai survey tempat untuk bukber. Kenapa yah?”
“kalau sudah selesai kamu cepet kesini yah, temani ayah. Ayah baru saja dirawat, kaki ayah patah.” masih dengan suara lirih menahan sakit.
Airmata ku seketika itu juga
jatuh bak air yang mengalir dari pegunungan, derasnya sama dengan hujan yang
saat itu juga tengah membasahi bumi. Aku lajukan motor ku sekencang mungkin,
tak perduli orang mau berkata apa. Ayah ku tengah terbaring sendirian di rumah
patah tulang, sedang aku masih sempat-sempat nya main bersama teman ku. Anak macam
apa aku ini? Setelah sekian lama ini ayah selalu bekerja demi menafkahi ku
sekeluarga, aku masih saja tidak tahu diri.
Sampainya di RPT ( Rumah Patah
Tulang ) dengan berbasah kuyup dan menitikan air mata aku tak hentinya mengaji
untuk ayah, terlintas dibenak ku tentang ayah dihadapan ku, yang biasanya
berdiri tegak dengan suara lantangnya memanggilku, berjalan kesana kemari tanpa
kenal lelah demi mencari sesuap nasi. Kini hanya terkulai diatas ranjang kayu
beralasan tikar dan bantal yang sudah sangat usang. Ayah terbaring dengan menahan
sakit, suaranya sangat lirih. Malam itu hanya aku yang disuruh untuk menjaga
ayah, karena ibuku sedang hamil tua dan yang lain tidak ada yang bisa untuk
menemani ayah.
Semalaman dengan terus menjaga
ayah ku, Aku terus memikirkan andai saja ayah ku tak terselamatkan, akan jadi
apa aku kelak tanpanya? apa yang telah ku punya untuk menghidupi diriku? Ayah betapa
bodohnya aku telah menyia-nyiakan mu. Aku tak ingin menyesal ayah, aku tak
ingin membuat mu semakin sakit dengan semua tingkah ku, aku ingin membahagiakan
mu dengan menjalani semua hal yang kau harapkan dalam diri ku.
Beberapa hari kemudian masih dalam masa perawatannya, tiba-tiba saja ayah menanyakan ku, akan jadi apa aku kelak, tapi aku hanya bisa terdiam. Bahkan ketika dia bertanya bagaimana tentang perkuliahan ku, aku pun hanya mampu tertegun sendiri. Sampai akhirnya ayah berkata “ ayah hanya ingin melihat kamu sukses melebihi ayah saat ini. Dulu ayah ingin sekali merasakan kuliah, tapi karena keterbatasan biaya ayah tidak bisa masuk fakultas yang ayah inginkan, dan sekaligus harus melupakan cita-cita ayah sebagai seorang teknisi. Andai saja dulu ayah bisa kuliah, mungkin ayah tidak akan seperti ini sekarang, mungkin ekonomi keluarga kita pun akan jauh lebih baik. Makanya ayah memasukan kamu ke perkuliahan, supaya kelak kamu tidak menjadi orang yang menyesal seperti ayah, supaya kelak hidup kamu lebih baik dari ayah. Percaya ya Maya, tidak ada orang tua yang ingin anaknya sengsara, semua orang tua selalu mengininkan yang terbaik untuk anaknya. Kamu ngerti kan?”
Dan dari sekian banya omongan
ayah itu, aku hanya mampu menjawab “iya” dengan terus menitikan air mata
dipojokan kamar.
Aku terus berpikir dan menyesali
semua perbuatan ku. Aku selalunya menghakimi ayah ku dengan semua hujatan yang
tidak benar adanya. Aku selalu meremehkan perkuliahan ku, disamping aku tau
bahwa tidak semua orang bisa masuk ke dunia perkuliahan seperti aku, banyak orang
yang cita-citanya tidak bisa terealisasikan hanya karna keterbatasan biaya,
sedang aku yang sudah sejauh ini didukung oleh ayah ku, malah meremehkannya
dengan tidak focus dalam belajar dan selalu saja mementingkan hal lain dari
kuliah. Padahal dalam hal yang bersamaan ayah pun menaruh harapan besar dalam
diri ku untuk bisa jauh lebih baik darinya. Dan hari itu juga menjadi titik
tolak ku dalam menjalani kehidupan ku yang baru, dimana aku mulai menaruh besar
harapan ku pada gelar ku kelak, namun bukan hanya gelar tapi juga ilmu dan
kualitas dalam gelar S1 ku kelak. Tidak hanya itu, untuk ayah pun aku putus kan
untuk mulai belajar memasuki dunia usaha yang selama ini ayah geluti. Besar sekali
harapan ayah pada ku, dan aku tak ingin menjadi anak yang hanya mampu memberikan
harapan palsu pada ayah.
J
EyD buuu EyD :D
BalasHapusMasih banyak kalimat yang ga efektif. Boros. Ada yang ngos-ngosan kalo dibaca.
Paragrafnya juga dibenahin. Setiap dialog, bikin paragraf baru.
Menurutku bagian ini:
Pada tingkat awal juga aku menemukan “CCP”, yap mereka sahabat ku tercinta yang sampai saat ini masih setia menemani ku dalam berbagai kondisi. Kami terbentuk begitu saja dengan tidak langsung akrab begitu saja, kemana-mana selalu berlima, makan, main, karaokean, nonton atau sekedar melakukan kegilaan lainnya. Praktis tingkat satu hanya kami lalui dengan hal yang menurut ku gak ada tantangannya, seperti permainan di level satu yang mudah sekali untuk dilewati.
Masuk ke tingkat 2, kami harus menghadapi kenyataan pahit. Salah satu dari kami harus pindah yang membuat kami terpisahkan oleh jarak yang sebenarnya tidak terlalu jauh yaitu Depok – Bekasi, hanya jadwal yang berbeda membuat kami seolah tidak mungkin menjalin kebersamaan seperti dulu di tingkat satu. Sedih? Pasti ! secara kami selalu berdekatan entah dalam situasi dan kondisi apapun.
Selanjutnya kelas 2EB** lah yang menjadi tempat pemberhentian berikutnya untuk aku, dank ke-3 teman ku, tpi, ternyata hal pahit itu harus aku jalani lagi, salah satu teman kami harus pindah lagi karena mendapatkan beasiswa dari institusi kami. Awalnya satu, lalu satu lagi, dan hampir satu lagi, tpi tidak jadi.. hehehee dan tersisalah kami bertiga dikelas yang terkenal dengan nama “Kelas Awal" diilangin aja. Ini cuma tempelan. Ga perlu. Dan gada sangkutnya sama ceritanya.
*just my opinion :)
huaaa,, iyahh makasih banyak yahh aku akan segera memperbaikinya, memang itulah yang aku butuh kritik pedas sepedas kripik maichi level 15. :)
Hapus