KEMILAU DALAM SENJA
Jengah dengar banyak alasan dan bosan dengan banyaknya
cerita yang keluar dari semua mulut orang tanpa tau apa itu hanya kabar angin
atau memang yang di bisikkan oleh-Nya. Sana sini tak tahu malu mepertontonkan
berebut singgah sana, hanya bisa berkata dan mencaci untuk mencari tahta.
Semakin hari gencar menggencet siapa
saja yang berani menghalangi, segala cara di halalkan agar bahagia di dunia
tanpa mengingat tempat abadi. Setiap saya nyalakan kotak bergambar, saat saya
mendengar celotehan yang sealu dapat di bawa kemana pun dan sampai suguhan di
setiap pagi yang selalu menemani saat sarapan. Hanya itu saja yang selalu di
gambarkan oleh dunia ini yang penuh dengan sandiwara.
Tak pernah ada guna saya berbicara
dengan semua orang apa yang sedang saya alami setiap hari, karena menurut saya
benar apa yang di katakan oleh seorang ahli filsuf Thomas hobbes jangan menaruh
kepercayaan pada orang lain, tetapi tegagkan kecurigaan. Karena setiap hari
orang terus bersaing secara bebas untuk mempertahankan diri dan masing-masing
hidup mengikuti nalurinya, maka tidak heran apabila mereka berlenggok bagai tak
pernah sadar bayangan dosa selalu mengikuti kemana arah mereka pergi.
Cuma satu yang saya percaya, yaitu
dirimu. Itulah mengapa setiap malam saya selalu mencari mu untuk berbicang
tentang masalah yang saya alami, atau bahkan perbicangan yang seharusnya tidak
perlu kita perdebatkan. Tidak ada tempat lain untuk saya percaya selain pada
dirimu, sudah saya bisikkan semua tentang kegelapan dalam hidup saya, cerita
sendu saya hingga lubang-lubang semut yang hari itu hadir di kamar saya, saya
ceritakan bukan? tak pernah ada yang terlewat sedikit.
“Hari ini saya apes sekali”
“Apa memang yang terjadi pada hari
ini?”
“Sepatu baru saya tercebur dalam kubangan, saya buru-buru sehingga saya
tidak melihat ada lubang dihadapan saya”
“Mengapa kau sepanik itu, sehingga kau tidak melihat ada kubangan”
“ heheehe seperti biasa saya mengejar kereta agar tidak tertinggal”
Ketika rasa sudah cukup tuk berbincang kepadanya, saya langsung bergegas
menutup jendela, memadamkan lampu dan membungkus diri saya dengan selimut
dengan rapat. Lega setiap saya habis berbincang dengannya, tidur bagai tak
punya beban sehingga dapat menyambut pagi dengan senang gembira.
Gemercik air berebut untuk sampai ke bumi terdengar jelas dari dalam rumah,
gemeletar dagu dan sepertinya hati tahu apa yang saya butuhkan saat ini, dengan
cekatan tangan menarik selumut yang
entah sudah berada di bawah kasur sejak kapan.
Kriiiiiiiiing, setiap pagi suara itu selalu mengubah mimpi indah saya
menjadi ingat akan rutinitas yang membosankan harus saya jalani. Langkah
semakin jauh meninggalkan tempat tempat singgah saya semalam, gerimis dari
semalam tak kunjung reda. Hari yang membuat susana ingin cepat pulang dan
menarik selimut kembali. Jarum air turun tak beraturan, jatuh ke ubun-ubun dan
meresap ke dalam kepala. Kadang membuat kepala berat seperti ada yang
menghantam
Fajar kini telah menjadi senja, hari ini matahari sedang libur untuk
bertugas, tapi saya juga harus segera
pulang sebelum gerimis ini berubah menjadi hujan lebat sehingga jalanan macet
dimana-mana karena pohon rebahan di tengah jalan akibat tersambar kilat.
Sesampainya dirumah disambarnya handuk melilit kepala lalu mengusap-usap
agar cepat kering rambut yang tadi basah. Di rumah itu selalu saja sepi tanpa
berpenghuni karena penghuninya tak pernah ada di rumah kecuali di waktu malam
hari dan itu pun hanya dirinya seorang diri yang mendiami rumah tersebut.
Saya beranjak menyiapkan air hangat untuk mandi sebelum semua penyakit
menggrogoti tubuh ini, desir suara air dimasak menjurus kearah dapur, lemopat
dari sofa serupa tupai menuju kamar mandi.
Stetlah selesai mandi, menyisir rambut dan memandang wajahnya lamat lamat
didalam cermin. Ia ingat rutinitasnya selain bekerja di pagi hari, pada malam
hari ia harus menengok dan bercerita panjang lebar seperti biasanya, ditaruhnya
kopi yang baru saja ia buat di atas meja dan berjalan menuju jendela, terdengar
dari balik jendela suara gemuruh masih terjaga, hujan!
Asap mengepul dari atas cangkir, aroma sedap manis dan pahit bercampur
seakan-akan memanggil-mangil dan
menggoda untuk di seruput, wajah sendu muram terpancar dari rautmukanya.
“Aku tidak dapat bercerita kepada mu hari ini, maafkan aku”
Saya ucapkan kata maaf yang saya rangkai untuknya, saya merasa telah
menghianati janji yang telah saya dan dirinya buat. Mungkin besok saya dapat
menjelaskan semuanya apa yang terjadi dan kenapa saya tidak hadir di hadapan mu
saat ini. Semua akan dapat terselesaikan kalau seandainya kamu memberikan
kesempatan saya untuk menjelaskan semuanya sampai terperinci.
Sejak kemrin saya tak pernah melihat pancaran sinarnya. Mungkin rintik hujan yang menghapus debu di
jalan membuat dirimu tak nampak di kegelapan, saya buka kaca jendela yang dari
matahari hadir di ufuk terkunci rapat, desir angin datang membawa kesejukan
hingga mengeringkan keringat yang mengguyur di tubuh. Melewati helai demi helai
rambut yang terkibas melayang di udara tak beraturan. Mendelik ke arah luar mencari
seberkas sinarnya, rintik air masih terus mengalir dari atas langit. Menerka
hingga menyipitkan mata, kemilau cahaya ia temukan.
“Ah itu dia akhirnya kau hadir sekarang, tetapi mengapa kamu seperti
menghampiri saya”
Rasa cemas itu hinggap dalam hatinya, ditarik jaket yang sedang menggantung
tepat di balik pintu. Saya panaskan sepeda bermesin tua yang sudah lama tak
pernah ku gunakan semenjak kemacetan di kota semakin parah yang membuta saya
selalu lelah dalam perjalanan dan lebih memilih jasa supir angkot dan masinis
untuk mengantar saya ketempar mencari makan.
“Tunggu aku!”
Bruuuuum melaju pesat mengikuti kemana arah kemilau sinar di angkasa itu
berada, saya ingin lebih dekat melihatnya, saya sudah lama tak berjumpa dan
bercerita padanya, saya takut kalau dirinya marah karena belakangan ini saya
tidak memberi tahu kabar saya. Saya memang senang berbincang dengan mu.
Motor dan mobil seakan parkir di tengah-tengah jalan yang seharusnya malam
ini lancar berlalu-lalang. Saya tekan pelatup yang berbunyi di motor,
berkali-kali saya tekan, tapi tak ada sedikit pun yang beranjak dari tempat
mereka. Saya mencari jalan lain agar tak kehilangan kemilaunya kembali. Saya
putar kemudi mencari celah untuk keluar dari sana. Jalan kini lancar, kemilau
masih saya ikuti dari bawahnya, senyum merkah terpancar pada wajarh saya saat
saya lihat di kaca sepion motor, tiba-tiba.
“Ah sial ada apa lagi ini, tunggu saya kemilau”
Saya menamakan kemilau dalam senja, panggilan akrab saya terhadapnya karena
selalu mendengarkan saya setiap keluh dan resah saya setiap fajar berganti
senja.
“kenapa kamu menangis dik malam-malam seperti ini?”
Adik kecil yang keluar dari rumah karena mengejar kumbang, kini takut
pulang karena kegelapan malam, saat ditanya malah semakin menjerit menjadi-jadi,
di ulurkan tangan telunjuknya menunjuk suatu arah berharap di antarkan ke
rumahnya.
Saya perhatikan dahulu kemilau apa masih setia menunggu saya di langit
sana, sudah saya pastikan kemilau benar-benar setia. Saya antarkan aik kecil
tanpa alas kaki ini kearah yang sejak tadi ia tunjuk, kebetulan atau memang
sengaja ternyata arah yang di tunjuk seperti mendekatkan saya kepada kemilau
jadi saya tak perlu takut kehilangan jejak kemilau. Sesampai di mengantarkan
anak itu tak saya abaikan ucapan rasa syukur dan terimakasih yang keluar dari
mulut keluarga sang anak, yang saya pikirkan saya harus lebih jelas melihat
kemilau dan menjelaskan semuanya mengapa saya tidak hadir belakangan ini.
Saya nyalakan kembali sepeda motor dengan diengkol, menyelusuri lika-liku
jalan yang hanya dapat di lalui satu buah motor dan pejalan kaki yang
bergandengan, tak ada tempat untuk mobil apabila ingn melintas. Berharap tak
ada yang menghalangi lagi pertemuannya dengan kemilau secara lebih dekat.
“Semakin dekat saya menghampiri mu”
Kilometer kecepatannya menerobos melebihi angka 100, sambil senyum-senyum
tak sabar dengan apa yang ingin ia perbincangkan sejak kemarin-kemarin, dan ia
ingin mnjelaskan hujan yang selalu menghalangi pertemuan mereka untuk
berbincang dibawah sinarnya dan di bawah awan yang mengelilingi. Butiran air
yang selalu hadir keroyokan, membuat kepala pening setiap merasakan tetesannya.
Semua itu yang ingin ia jelaskan kepada kemilau.
Sesampai disana ia terkejut dengan apa yang ia dapatkan dan apa yang ia
lihat ternyata
“Bandara”
pengarang : Dhea Tiara Ningrum