Rabu, 01 Januari 2014

Aku pulang...


Fajar telah menyingsing di ufuk barat, menerobos melalui celah–celah kamar yang banyak memiliki jendela tanpa kain gorden, seolah memaksa ku untuk segera beranjak dari kenikmatan dunia yang jarang sekali bisa dinikmati saat ini. Karena kerasnya ibukota juga turut memaksa untuk selalu giat dan lebih cepat dari yang lain. Butuh perjuangan bagi ku hanya untuk membuka mata. Rasanya hari itu aku benar-benar ingin sekedar bermalas–malasan. Hanya aku dengan semua mimpi indah yang bisa dengan mudahnya ku dekap tanpa harus bersusah payah. Tapi, apa boleh buat ?  Ibukota lebih jahat dari ibu tiri, begitulah yang selalu orang katakan demi menakuti para urban yang selalu saja berdatangan dari desa ke kota. Siapa cepat dialah yang dapat dan bagi kalian yang hanya bermalasan, jangankan sesuap nasi, uang receh pun tak akan kalian dapatkan. Padahal aku yakin mereka yang berbicara seperti itu belum tentu mereka yang sebenarnya punya ibu tiri.
Aku mulai beranjak mengambil handuk dan langsung memanjakan diriku dibawah pancuran air shower. Barulah saat air menerpa wajah ku, mata ini terbuka untuk keseluruhannya. Berkaca pada cermin di kamar mandi, melihat betapa lusuh dan kusam nya diriku terlihat di cermin. Sungguh cermin adalah sesuatu hal yang paling jujur di dunia, sampai kapanpun cermin tak akan pernah berbohong. Hanya ada kejujuran di dalam cermin dan hal yang ada di depan cermin, itulah yang cermin pantulkan. Padahal aku pernah berharap bahwa akan ada cermin yang setidaknya membuatku terlihat lebih baik jika aku berkaca padanya.
Jam menunjukan tepat pukul 07.00 pagi, tanda aku harus segera bergegas, ku raih tas yang sudah ku siapkan di atas kasur. Tak lupa aku juga memasukan sebungkus roti yang tergeletak entah sejak kapan di atas meja. Tidak ada sarapan seperti orang pada umumnya. karena aku terlalu sibuk untuk bisa menyiapkan semuanya seorang diri. Jadi hal instan selalu menjadi pilihan utama bagiku. Aku langsung mengendarai sepeda motor kesayangan ku itu, motor ku memang sudah agak usang, tapi, percayalah hanya motor ini yang setia padaku dalam berbagai macam situasi dan kondisi.
Ku lajukan motor dengan kecepatan yang standar menurut ku, tapi tidak menurut yang lain. Dengan sangat percaya dirinya, kala itu di tambah muka yang sudah ku cuci berulang kali agar nampak sedikit lebih baik, aku tunjukan pada dunia wajah terindah yang di hiasi dengan sekulum senyuman di ujung bibir ini.
“aku siap.. aku siap.. aku siap… Dunia aku siap hadapi dunia hari ini…” teriak ku sendirian.
Begitu semangatnya aku untuk menaklukan ibukota, terlalu bersemangat bagi ku. Tak biasanya aku se-sumeringah ini, karena biasanya hanya hal – hal tertentulah yang bisa mengubah mood ku. Mendengar suara ibu ku yang berada jauh di desa atau bercengkrama dengan orang yang ku sukai, pemisalan yang lainnya.
Hari ini parkiran toko tempat dimana aku bekerja tak seramai hari biasanya. tak ada motor yang berjejer rapi menghalangi pohon ataupun suara klakson mobil bahkan tukang parkiran yang biasanya meneriaki para pengendara pun, hari itu hanya asik dengan mainannya sendiri. Terlalu lenggang untuk suasana ibukota di siang hari dan untuk itu aku memiliki waktu senggang demi sekadar membaca buku pelajaran yang selalu kusiapkan di atas lemari piring. 
Sebagai seorang anak kuliahan, sudah seharusnya belajarlah yang menjadi tugas utama untuk ku. Tapi, tidak dengan diri ku. belajar itu hanya selingan aku disaat aku bosan dengan tumpukan pekerjaan ku yang tidak ada habisnya ini. Tumpukan cucian piring, pesanan konsumen, dan  di saat pengunjung tidak terlalu membuat ku sibuk dengan permintaan mereka, untungnya bos ku mau berbaik hati, terkadang dia pun tak segan untuk melayani para pengunjung layaknya seorang pelayan seperti ku.
            Matahari kian menggelincir di langit sedang bulan mulai naik kepermukaan, seolah dia ingin segera berganti posisi dengan matahari. Seperti biasa, akupun harus bergulat lagi dengan para pekerja lainnya, di jalanan bermacet-macet ria, menyelap–nyelip agar segera sampai ditempat tujuan.
Sesampainya dirumah, mata yang mulai kantuk ini memaksa ku untuk sesegera mungkin berbaring lalu memejamkan mata padahal, aku menyadari bahwa tugas ku pun tak akan selesai dengan sendirinya tanpa aku sendiri yang mengerjakannya. Polemik yang harus di hadapi setiap harinya, tanpa seorangpun yang bisa di percaya untuk membantu.
Tanpa sadar ada beberapa panggilan tak terjawab tercatat di handphone. Tak ada nama, hanya seragkaian nomor baru yang aku sendiri belum pernah melihatnya. Meski dengan berat hati, aku berusaha menelpon balik nomor itu, butuh beberapa lama untuk bisa menyambungkan koneksinya. Awalnya aku tak ingin ambil pusing, namun rasa penasaran ini lebih besar dari rasa kantuk. Akhirnya, aku mendengar suara lirih di ujung nomor telpon yang sedang ku hubungi. Suara isak tangis seorang wanita paruh baya yang tak asing, bahkan sangat familiar di telinga.
Suara yang berasal dari orang yang ku cintai, orang yang sudah lama tak bercengkrama dengan ku, yang selalu kurindukan kehadirannya.

“buuu.. ibuuu…..?” Tanya ku.
“ini ibu kan…” mencoba meyakinkan
“ibu kenapa ?” 
“kenapa ibu nangis ?”
“……………..”

Sudah sekitar 15 menit kami berdiam diri dan selama itu juga ibu tak berbicara sepatah katapun. Hanya ada tangisan semata. Terkadang sesaknya pun membuat ku sesak dan ingin segera menyambanginya, untuk sekedar memeluknya dalam tangisan.

“ibu sakit na…” suara lirih.
“ibu sudah tidak kuat…” 
“ibu mau pergi…”

Lalu seketika dia memutuskan sambungan telponnya. Sontak kaki ku bergetar, tangan ku dingin, keringat basah yang mulai mengucur beriringan dengan air mata yang mulai turun. Hati anak mana yang tak menjerit mendengar orang tuanya meringis, di tambah hanya bisa membayangkan dari kejauhan sesakit apa dia saat ini, memikirkan bagaimana caranya agar  bisa membuat suasana tak membuatnya tambah sakit, tanpa bisa melihatnya secara langsung, hanya bisa mendengarkan tangisan dan keluhannya. Itupun hanya beberapa patah kata, tanpa tau apa yang sebenarnya terjadi.
Butuh waktu yang lama bagiku untuk memutuskan apa yang harus kulakukan, entah terlalu sakit, bodoh atau terlalu bingung. Sampai akhirnya aku berlari kearah lemari, kumasukan beberapa potong pakaian dan segera melajukan motor ku kearah terminal, tempat pemberhentian bus yang akan segera membawaku kerumah ibuku. Tanpa sadar bulan masih menggantung dilangitan.
Tak sabar diriku untuk segera sampai di sana, padahal bus yang akan ku tumpangi pun belum juga datang. Masih terlalu pagi untuk para pemudik bisa pulang dengan kendaraan masalnya. Kurang lebih 6 jam waktu ku untuk menunggu bus belum di tambah jam perjalan untuk sampai di sana dan juga macet yang terkadang membuat ku jadi naik darah.
Saat turun dari bus, kaki ku kembali gemetar, ada setitik air turun dari mata ku, tangan yang kembali dingin, mungkin sama dinginnya dengan es yang baru keluar dari lemari pendingin dan di depan pintu rumah ibuku. aku mencoba mencari tau, adakah orang didalam rumah.
"Bu... aku pulang bu..."
"Bu.. Ibu dimana?"
"Bu.... aku pulang .. anak Ibu sudah pulang..."

aku mencoba memanggil orang di dalam rumah, namun tak ada sedikitpun jawaban, dari mulai mengetuk pintu sampai mengintip lewat celah–celah jendela yang sedikit terbuka, namun sedikitpun tak ada hasilnya. Sepertinya orang dirumah sedang pergi semua.
Aku melanjutkan perjalanan ku kerumah nenek yang tempatnya tak jauh dari rumah ibuku. Berharap ada yang menyambutku atau setidaknya memberikan sedikit penjelasan tentang apa yang sebenarnya terjadi disini. Namun, jangankan sambutan. Hanya ada daun yang beterbangan di halaman rumah nenek.
Kali ini aku tak perlu repot–repot mengetuk terlebih mengintip dari balik jendela, karena pintunya sudah terbuka entah sejak kapan. Dengan penuh tanya, aku masuk kedalam rumah. Sangat hening sampai aku bisa mendengar helaan nafas ku sendiri.
Selagi aku mengitari rumah nenek, tak sengaja aku melewati kamarnya dan melihat seperti ada kain yang berjejer rapih didalamnya. Dengan sedikit keraguan aku masuk kedalam kamar itu, dan langsung terjatuh lalu tertegun. Tidak ada teriakan, tidak ada tangisan. hanya hening dan rasa kejut yang teramat pada diriku. Betapa tidak, aku lihat jasad ibu ku dihadapan ku, sedang yang lainnya menangis disekelilingnya.
Ibu yang baru ku hubungi semalam, saat ini tengah terbujur kaku dihadapan ku. ku hampiri dirinya, ku sentuh ia, dan kupandangi wajahnya, seolah belum percaya bahwa dia yang ada dihadapan ku adalah orang yang sangat ingin ku temui tadinya. Aku memanggil namanya dengan sesak ku, berharap dia menjawab panggilan ku, setidaknya membuka sedikit matanya untuk ku. namun, itu semua tak ada pengaruhnya. Ibuku masih bungkam.
Dengan penuh sesal aku memukul lantai, sambil terus berlutut dihadapan ibuku, rasanya teriakan dan tangisan ku saat ini tak ada artinya lagi. Hilang semua harapan ku, hilang semua hidup ku, seolah sebentar lagi diriku pun akan turut dikubur disamping liang lahat ibuku.
Aku masih sangat lemas sampai sinar itu menyilaukan mata ku, membuat ku tak bisa membuka mata ku, namun kupaksakan diri ini membuka mata ku, dengan semua tenaga yang tersisa aku bangkit dari posisi ku dan mulai membuka mataku. Ternyata cahaya itu berasal dari celah–celah jendela kamar yang tak bergorden dan baru tersadar bahwa semua yang ku alami sedari tadi, hanyalah bunga tidur ku.

_Gina_

2 komentar:

  1. nice na nice banget. endingnya tak terduga :D *asli awalnya bikin aku merinding -_-

    cuma masih banyak serangan ku, dalam satu paragraf kalo bisa ku nya jangan banyak". Trs untuk di kata tempat itu dipisah. Di rumah, di dunia, di atas. masih banyak kata yg typo ya hehe, u/dialog huruf awalnya besar. "Mamah..."

    Overall aku suka ceritanya ^_^

    BalasHapus
  2. makasih sayaannggg... heheh, harap dimaklumi.. saya orang awam :P
    insyaallah akan ku perbaiki...
    :)

    BalasHapus

kalender enna


jam kuu

Cuteki kawaii

Blogger news

Get Free Music at www.divine-music.info
Get Free Music at www.divine-music.info

Free Music at divine-music.info

my dotta