1. Perkembanganmoral
Menururt Lawrence Kohlberg
Mengembangkan teori Piaget, Lawrence
Kohlberg membagi perkembangan moral menjadi 3 tingkatan, yaitu tingkat
prekonvensional, tingkat konvensional dan tingkat postkonvensional (Slavin,
2006:54). Menurut pandangan Kohlberg dari tiga tingkatan tersebut, anak harus
melewati enam tahap dalam dirinya. Setiap tahap memberikan jalan untuk menuju
ke tahap selanjutnya ketika anak mampu menemukan “aturan’ pada tahap itu,
kemudian anak harus meninggalkan penalaran moral dari tahap awal ketahap
berikutnya. Dengan cara tersebut, penalaran moral anak berkembang melalui tiga
tingkat yang berbeda meskipun tidak semua anak mampu menanguasainya (Manning,
1997:108).
Tahapan-tahapan perkembangan moal yang
dikemukakan Kohlberg jauh lebih kompleks dibanding dengan tahapan-tahapan
perkembangan moral dalam teori Piaget. Berikut ini adalah tiga tingkat
perkembangan moral menururt Kolhberg (dalam Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45),
dimana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:
1. Tingkat
Prekonvensional
Pada tingkat pertama
ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik
atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma
tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan.
Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan keuatan fisik dari yang
menerapkan norma-norma tersebut. Pada tingkat prekonvensional ini dibagi
menjadi dua tahap yaitu :
a. Tahap
Punishment dan Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa
konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan
baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya.
Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut,
tidak sianggap sesuatu hal yang buruk
b. Tahap
instrumental-Relativisit Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar
apabila tindakan tersebut mampu ememnuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun
orang lain. Tindakana yang tidak memberikan pemenuhan kebutuhan baik untuk diri
sendiri maupun orang lain dapat dianggap sebagai tindakan baik selama tindakan
tersebut tidak merugikan.
2. Tingkat
Konvensional
Pada tingnkat
perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok,
masysrakat, maupun bangsanya merupakan
suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan
dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap loyalitas yang sesuai
dengan harapan-harapan pribadi dan tertib social yang berlaku.
Pada tingkat ini, usaha
seseorang untuk memperoleh, mendukung dan mengakui keabsahan tertib social
sangat ditekankan, serta usaha aktih untuk menjalin hubungan positif antara
diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat ini
konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap
Interpersonal Concordance anat Good Boy/Good Girl Orientation
Pndangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral
adalah tindakan yang menyenangkan, membantu atau tindakan yang diakui dan
diteruma oleh orang lain. Anak biasnaya akan menyesuaikan diri dengan apa yang
dimaksud dengan tindakan bermoral. Moralitas suatu tindakan diukur dari niat
yang terkandung dalam tindakan tersebut. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk
dapat menyenangkan orang lain.
b. Tahap
Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada
otoritas, pemenuhan aturan-aturan dan juga upaya untuk memelihara tertib social.
Tindalan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan
kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib social
yang diakui sebagai satu-satunya tertib social yang ada.
3. Tingkat
Postkonvensional
Pada tingkat ini,
terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai prinsip moral yang
memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas
kelompok. Pada tingkat ketiga ini, didalamnya mencakup dua tahap perkembangan
moral, yaitu :
a. Tahap
Sociak-Contract, Legalitic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang
cukup tinggi. Pada tahp ini tindakan yang diangap bermoral merupakan tahap
kematanagan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang diangap
mermoral merupakan tindakan – tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak
individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah
disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari
perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang
menungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan
seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan
nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hokum atau aturan
juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap
Orientation of Universal Ethical Principles
pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar
tindak harus dibatasi oleh hokum atau aturan dari kelompok social ataupun
masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan
dilandsi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih
baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum sepeti
keadilan, persamaan HAM dan sebagainya.
Adapun pendapat lainnya :
Dalam penelitiannya Lawrence Kohlberg
berhasil memperlihatkan 6 tahap yang diperoleh dengan mengubah tiga tahap
Piaget / Dewey dan menjadikannya tiga tingkat yang masing – masing dibagi lagi
atas 2 tahap. Ketiga tingkat tersebut antara lain :
a.
Tingkat Prakonvensional, sering kali
berprilaku baik dan tanggap terhadap label – label budaya mengenai baik dan
buruk, namun ia menafsirkan semua label ini dari segi fisiknya ( hukuman,
ganjaran kebaikan ) atau dari segi kekuatan fisik mereka yang mengadakan peraturan
dan menyebut label tentang yang baik dan yang buruk. Tingakt ini biasanya ada
pada anak – anak yang berusia empat hingga sepuluh tahun.
b.
Tingkat Konvensional, disebut juga
sebagai tingkat konformis. Pada tingkat ini, anak hanya menuruti harapan keluarga,
kelompok atau bangsa dan dipandangnya sebagai hal yang bernilai dalam dirinya,
tanpa mengindahkan akibat yang segera dan nyata. Individu tidak hanya berupaya
menyesuaikan diri dengan tatanan sosialnya, tetapi juga untuk mempertahankan,
mendukung dan membenarkan tatanan sosial.
c.
Tingkat Pasca – Konvensional, dicirikan
oleh dorongan utama menuju ke prinsip – prinsip moral otonom, mandiri, yang
memiliki validitas dan penerapan, terlepas dari otoritas kelompok – kelompok
atau pribadi – pribadi yang memegannya dan terlepas pula dari identifikasi si
individu dengan pribadi – pribadi atau kelompok – kelompok tersebut. Pada
tingkat ini terdapat usaha yang jelas untuk merumuskan nilai – nilai dan
prinsip moral yang memiliki keabsahan dan dapat diterapkan terlepas dari
otoritas kelompok atau orang yang berpegang pada prinsip – prinsip
tersebut.
Pada tingkat Prakonvensional ditemukan :
a.
Tahap 1
Orientasi hukuman dan kepatuhan: Orientasi pada hukuman
dan rasa hormat yang tak dipersoalkan terhadap kekuasaan yang lebih tinggi.
Akibat fisik tindakan, terlepas arti atau nilai manusiawinya, menentukan sifat
baik dan sifat buruk dari tindakan ini.
b.
Tahap 2
Orientasi relativis – instrumental: Perbuatan yang benar
adalah perbuatan yang secara instrumental memuasakan kebutuhan individu sendiri
dan kadang – kadang kebutuhan oran lain. Hubungan antarmanusia dipandang
seperti hubungan di tempat umum.Terdapat unsur – unsur kewajaran, timbal –
balik dan persamaan pembagian, akan tetapi semuanya itu selalu ditafsirkan
secara fisis pragmatis, timbal – balik adalah soal “ Jika anda menggaruk
punggungku, annti aku akan menggaruk punggungmu” dan ini bukan soal kesetiaan ,
rssa terima kasih atau keadilan.
Pada tingkat konvensional ditemukan:
c.
Tahap 3
Orientasi kesepakatan antara pribadi atau orientasi “
Anak manis “: Perilaku yang baik adalah perilaku yang menyenangkan atau
membantu orang lain, dan yang disetujui oleh mereka. Terdapat banyak
konformitas dengan gambaran – gambaran stereotip mengenai apa yang dianggap
tingkah laku mayoritas atau tingkah laku yang wajar. Perilaku kerap kali
dinilai menurut niat, ungkapan “ ia bermaksud baik “ untuk pertama kalinya
menjadi penting dan digunakan secara berlebih - lebihan.
Orang mencari persetujuan dengan berprilaku baik.
d.
Tahap 4
Orientasi hukum dan ketertiban : Orientasi kepada
otoritas peraturan yang pasti dan pemeliharaan tata aturan sosial. Perbuatan
yang benar adalah menjalankan tugas, memperlihatkan rasa hormat terhadap
otoritas, dan pemeliharaan tata aturan sosial tertentu demi tata aturan sosial
tertentu demi tata aturan itu sendiri. Orang mendapatkan rasa hormat dengan
berperilaku menurut kewajibannya.
Pada tahap pasca – konvensioanl ditemukan:
e.
Tahap 5
Orientasi kontrak sosial legalistis : Suatu orientasi
kontrak sosial , umumnya bernada dasar legalistis dan utilitarian. Perbuatan
yang benar cenderung didefinisikan dari segi hak – hak bersama dan ukuran –
ukuran yang telah diuji secara kritis dan disepakati oleh seluruh masyarakat.
Terdapat suatu kesadaran yang jelas mengenai relativisme nilai – nilai dan
pendapat – pendapat pribadi serta suatu tekanan pada prosedur yang sesuai untuk
mencapai kesepakatan. Terlepas dari apa yang disepakati secara konstitusional
dan demokratis, yang benar dan yang salah merupakan soal “ nilai “ dan “
pendapat “ pribadi. Hasilnya adalah suatu tekanan atas “ sudut pandang legal “
tetapi dengan menggaris bawahi kemngkinan perubahan hukum
berdasarkan pertimbangan rasional mengenai kegunaan sosial dan bukan membuatnya
beku dalam kerangka “ hukum dan ketertiban “ seperti pada gaya tingkat 4. Di
luar bidang legal, persetujuan dan kotrak bebas merupakan unsur –
unsur pengikat unsur – unsur kewajiban. Inilah moralitas “ resmi “
pemerintahan Amerika Serikat dan mendapatkan dasar alasannya dalam pemikiran
para penyusun Undang – undang.
f.
Tahap 6
Orientasi prinsip etika universal : Orientasi pada
keputusan suara hati dan pada prinsip – prinsip etis yang dipilih sendiri, yang
mengacu pada pemahaman logis, meyeluruh, universalitas dan konsistensi. Prinsip
– prinsip ini bersifat abstrak dan etis ( kaidah emas, kategoris imperatif ).
Prinsip – prinsip itu adalah prinsip – prinsip universal mengenai keadilan,
timbal – balik dan persamaan hak asasi manusia, serta rasa hormat terhadap
martabat manusia sebagai person individual.
2.
Apa yang menentukan tingkatan
intensitas masalah etika ?
Etika
adalah aturan dan prinsip ysng membedakan antara kelakuan yang benar dan salah.
Faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku etis/tak etis:
-
|
tingkat perkembangan moral
-
variabel-variabel
pengubah, i.e.:
Ø karakteristik individu
Ø desain struktur organisasi
intensitas
masalah etika
Intensitas
mengenai etika dalam memandang suatu tindakan ditentukan oleh faktor:
- Tingkat
kesepakatan bahwa tindakan tersebut salah.
- Besar
kemungkinan tindakan tersebut menimbulkan dampak negatif.
- Cepat
tidaknya dampak negatif tersebut terasa.
- Kedekatan
pelaku tindakan dengan mereka yang potensial menjadi korban dari tindakan
tersebut.
- Besar
dampak tindakan terhadap korban.
- Banyaknya
orang yang terkena dampak negatif/Luas dampak negatif yang ditimbulkan oleh
tindakan tersebut.
Menurut
pandangan lainnya :
a.
Etika atau moral pribadi yaitu yang
memberikan teguran tentang baik atau buruk, yang sangat tergantung kepada beberapa
faktor antara lain pengaruh orang tua, keyakinan agama, budaya, adat istiadat
dan penaglamn masa lalu.
b.
Etika profesi yaitu serangkaian norma
atau aturan yang menuntun perilaku kalangan profesi tertentu.
c.
Etika organisasi yaitu serangkaian
aturan atau norma yang bersifat formal dan tidak formal yang menuntun perilaku
dan tindakan anggota organisasi yang bersangkutan.
d.
Etika sosial yaitu norma – norma yang
emnuntun perilaku dan tindakan anggita masyarakat agar keutuhan kelompok dan
anggota masyarakat selalu terjaga atau terpelihara.
3.
Jelaskan jenis – jenis penyimpangan di
tempat kerja !
Robinson dan Bennett (1995) mendefinisikan penyimpangan
tempat kerja sebagai kurangnya pemenuhan akan norma organisasi dan
ekspektasinya. Perilaku menyimpang dapat dikaitkan dengan persepsi pekerja akan
tekanan pekerjaan yang dapat menciptakan frustasi dan perasaan terhina (Colbert
et al., 2004). Bennett dan Robinson (2000) meneliti dua jenis penyimpangan
tempat kerja: (1) penyimpangan interpersonal langsung terhadap pekerja lain dan
(2) penyimpangan organisasi yang terjadi di tempat kerja. Penyimpangan
interpersonal dapat berbentuk perilaku langsung terhadap rekan kerja yang
mengandung kekerasan, penghinaan, kegiatan fisikal lainnya (Robinson dan
Bennett, 1995). Penyimpangan perilaku terhadap organisasi diwujudkan dalam
bentuk ketidak setujuan, tidak menjalankan norma organisasi, atau melanggar
kebijakan organisasi.
a. Penyimpangan
Produksi
Perilaku tidak etis dengan merusak mutu dan jumlah hasil
produksi. misalnya : pulang lebih awal, beristirahat lebih lama, sengaja
bekerja lamban, sengaja membuang – buang sumber daya.
b. Penyimpangan
Hak Milik
Perilaku tidak etis terhadap harta milik perusahaan.
Misalnya : menyabot, mencuri atau merusak peralatan, mengenakan tarif jasa yang
lebih tinggi dan mengambil kelebihannya, menipu jumlah jam kerja dari
perusahaan lain.
c. Penyimpangan
Politik
Yaitu menggunakan pengaruh seseorang untuk merugikan
orang lain dalm perusahaan. Misalnya : mengambil keputusan berdasarkan pilih
kasih dan bukan kinerja, menyebarkan kabar burung tentang rekan kerja, emnuduh
oang atas kesalahan yang tidak dibuat.
d. Penyimpangan
Pribadi
Merupakan sikap bermusuhan atau perilaku menyerang
terhadap orang lain. Seperti pelecehan seksual, perkataan kasar, mencuri, dari
rekan kerja, mengancam rekan kerja secara pribadi.