Suara getar handphone membangunkanku dari tidur. Sedikit rasa enggan, kuraih dan kulihat siapa yang menelpon tengah malam begini. Ternyata itu dari kamu.
“Hai!” sapaku kaku.
Hening... tiada suaramu selama beberapa detik. Hanya hembusan nafas yang terdengar berat di telingaku.
“Kau bisa kemari? Aku membutuhkanmu saat ini...” diujung sana suaramu terdengar parau.
Kau tidak sedang mengigau, tapi kau sedang galau. Suara guruh membuatku seketika luruh. Tanpa diberi tahu, aku sudah membayangkan keadaanmu. Kau pasti sedang kesepian. Menghabiskan malam dengan penuh kegalauan.
“Kau dimana?”
“Di tempat biasa...” usai mengatakan itu kau menutup telpon-mu.
***
Kafe itu terletak di pinggir jalan, tak jauh dari perempatan. Di pojok sebelah kanan, terdapat bangku yang saling berhadapan. Dan disana kita saling menghabiskan malam di bawah lampu temaram. Kita sudah satu jam duduk termangu di tempat ini. Namun sepatah kata pun belum meluncur dari mulutmu. Kau membisu, tanpa kutahu mengapa kau begitu. Meski begitu aku tetap menunggu, hingga kau siap mengungapkan isi hatimu.
“Sudah beberapa minggu ini aku tidak bertemu dengan Alex...” ujarmu sambil mengaduk-aduk minuman di hadapanmu. Kau tampak lesu dan matamu kuyu.
Kepalamu tertunduk. Aku tahu kau berusaha menghidari tatapanku atau kau berusaha menahan bulir air mata yang sudah menggantung di pelupuk matamu. Aku tahu itu. Suaramu yang bergetar saat berucap tak mampu mendustaiku.
Aku menatap kaca jendela yang dihiasi guratan-guratan air bekas hujan. Di luar gerimis, dan di hadapanku kau akhirnya menangis. Pundakmu naik turun, sementara wajah manismu menjadi semakin murung.
Ini bukan yang pertama kau terluka karena dia. Dia terus menyakitimu, dan aku sakit karenanya. Namun kau enggan melepasnya. Hanya karena kau terlanjur cinta dan terlampau sayang padanya. Bahkan nasehatku tak mempan untuk membuatmu sadar, bahwa kau sudah terjerebab semakin dalam. Dan setiap kali ia menorehkan luka, hatiku pun ikut merana.
Sadarkah kau, ada aku disini yang mencintaimu?
Kau mengusap airmata dipipi dengan punggung tanganmu. Kau tersenyum pahit, terlihat sekali sangat dipaksakan. Kau berusaha tampak tegar, namun usahamu gagal. Maka kau menyeruput orange jus untuk membuat perhatianku luput.
“Kau ingin mengatakan sesuatu?” tanyamu tatkala melihatku tetap diam membisu.
Kutatap dalam matamu yang tak lagi berurai airmata. Aku menghembuskan nafas berat, lelah mengulang kata-kata ini. “Kapan kau akan sadar? Ia sekarang sudah memiliki seseorang...”
Kau kembali terdiam. Menutup telinga, namun kau tidak bisa mengingkari fakta. Hatimu tetap tahu apa yang terjadi dengannya.
“Aku bukannya tidak menyukainya. Aku hanya tidak suka dengan caramu mencintainya. Sudah kelewat batas. Mau sampai kapan kau menjadi benalu antara hubungan mereka?”
Kau membuang jauh pandanganmu. Matamu mulai berkaca-kaca lagi. Dan kalimatku semakin deras meluncur tanpa ampun.
“Rin... sudah cukup...
... lepaskan Ia dari hatimu...”
Sebutir airmata kembali jatuh dari sudut matamu, yang kemudian menganak sungai di pipi dan bermuara di dagu. Kau menangis dalam diam. Dan hatimu semakin remuk redam.
“Sulit... sangat sulit bagiku untuk melepasnya...” ucapmu lirih, nyaris berbisik.
Aku tahu.
“Aku mencintai bukan dari statusnya, bukan karena hartanya, juga bukan karena ada apa-apanya...
Aku mencintainya apa adanya dia...”
Aku juga tahu itu. Demikian juga rasa sayang ini padamu. Hanya saja kau tak tahu itu. Jika saja aku punya sedikit saja keberanian, aku sudah menyatakan perasaan terpendam ini padamu. Sayang, aku terlalu pengecut untuk sekedar mengucapkan “I love you” padamu.
Cinta memang buta. Kalau sudah begini aku bisa berbuat apa? Karena sejatinya posisi kita sama. Aku mencintaimu, dan kamu mencintainya. Kita sama-sama terjebak dalam cinta yang sama. Yang berbeda, kamu rela menjadi yang kedua, sementara aku hanya menjadi si sahabat yang tetap mencintaimu.
“Dia cinta pertamaku...”
“Aku tahu,” sahutku. “Kau hanya perlu merelakannya dan biarkan hati yang lain mengisi kekosongan itu seiring dengan berjalannya waktu.”
Kau tertawa sinis. Meringis. “Kau tahu, berapa banyak lelaki hidung belang yang mengincar tubuhku dan rela mengeluarkan uang banyak hanya untuk tidur denganku? Dan tahukah kamu, betapa menyakitkannya itu buatku?”
“Apa bedanya dengan Alex? Bukankah ia salah satu dari lelaki hidung belang yang hanya ingin menikmati tubuhmu dalam semalam?” tanyaku sinis.
Kau terhenyak, terdiam sejenak. Tersengat oleh kata-kataku atau mungkin malu.
“Dia beda Nat...” bisikmu. “Kami melakukannya atas dasar cinta, bukan uang semata. Silahkan bilang aku naif, tapi buatku dia adalah orang yang tepat. Hanya waktunya saja yang kurang tepat.”
Kepalaku menggeleng pelan. “Kau... bodoh.” Tukasku. “Kau sudah dimanfaatkan olehnya, tapi kau tak sadar akan hal itu.”
“Cukup Nat, aku tidak ingin mendengarnya lagi. Aku minta kau kemari untuk menemaniku, bukan menceramahiku...”
“Aku mencintaimu...” tiba-tiba saja mulutku berujar itu. Spontan, tanpa persiapan. Waktu serasa berhenti bergulir, sementara duniaku serasa terjungkir.
“Apa?”
Ririn seperti tak percaya dengan kalimat yang barusan meluncur dari bibirku. Matanya menatapku nanar. Ada rasa tak percaya yang kutangkap dari bola matanya. Dan aku sudah terlanjur basah mengatakannya.
“Nat, kau bercanda ‘kan?” tanyanya.
Aku menggeleng lemah. Kutundukan kepalaku sebelum akhirnya aku berani beradu pandang dengannya. “Tidak. Aku tidak bercanda. Rasa ini sudah ada sejak lama. Namun baru sekarang aku mengungkapkannya. Itu pun karena terpaksa. Karena kau juga tak kunjung menyadarinya...”
Kenapa wajahmu tampak pias? Apa karena kata-kataku terlalu lugas?
Kau diam tanpa kata. Berusaha mencerna kata-kataku dalam benakmu. Kau pasti tidak menyangka. Aku pun jua tak mengira bisa melakukannya. Tapi kini aku merasa lega.
“Kau tak perlu mengatakan apa-apa bila kau tak siap. Aku tidak menuntut jawabmu. Aku juga tidak ingin menggungkung cintamu seperti sangkar. Kau selayaknya kupu-kupu. Terbanglah kemana kau suka dan hinggaplah bunga yang kau cinta. Kau bebas melakukannya.”
Hening...
“Atau bila kau masih merindukannya, kejarlah ia. Bila nanti kau terluka, ingatlah aku. Sahabatmu ini selalu ada untukmu. Kapan pun kau mau. Karena aku sahabatmu...”
...yang mencintaimu...
Untuk seseorang di luar sana,
Terimakasih sudah berhasil membuatku jatuh cinta...
Bekasi, 8 April 2012
09:06 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar