Lumba-Lumba yang malang....
Konon, pembantaian paling kejam dipertontonkan secara terbuka di Taiji dan Futo, Jepang, serta di Faroe Island, Denmark. Atas nama tradisi, penduduk di dua tempat itu saban tahun melakukan pembantaian keji pada mamalia laut yang gemar menari itu.
Di Denmark, setidaknya setahun sekali acara pembantaian massal paus dan lumba-lumba diperagakan secara terbuka oleh penduduk lokal di dekat kota Hvalvik, Faroe Island. Ritual itu merupakan upaya untuk meneruskan tradisi kejam warisan bangsa Viking. Mereka membunuh ratusan lumba-lumba jenis calderon yang terkenal berinteligensia tinggi dan berinteraksi baik dengan manusia, hanya demi tradisi diet yang diwariskan secara turun-temurun.
Seperti dilaporkan Reuters, penduduk di pulau yang menjadi provinsi otonomi Denmark itu membantai lumba-lumba dan memakan dagingnya. Para pelakunya kebanyakan remaja yang mulai beranjak dewasa, yang sekadar ingin menunjukkan bahwa mereka telah dewasa dan matang. "Semua orang ikut berpartisipasi menjadi pembunuh atau penonton, layaknya suporter olahraga," kata Andrew Schencer, seorang aktivis anti-pembantaian lumba-lumba yang pernah mengikuti ritual itu, seperti dikutip Reuters
Sadisnya, binatang laut itu tidak langsung mati. Lumba-lumba itu disabet hingga tiga kali dengan benda tajam, misalnya gancu atau parang. Dan, menjelang ajal, si lumba-lumba mengeluarkan suara kesakitan yang amat sangat. "Suaranya seperti anak manusia yang baru lahir," ujar Andrew.
Daging paus ataupun lumba-lumba yang telah mati itu kemudian dihidangkan untuk santapan makan malam bagi mereka. Mereka menyebutnya makanan khas Faroe Island.
Selama 1.000 tahun tradisi itu dijalankan, mereka menuai berbagai kecaman dari kelompok pencinta hewan dan pemerhati mamalia laut. Tapi orang Denmark itu tak peduli. Mereka tetap menggiring paus dan lumba-lumba ke pantai, lalu membantainya. Pemerintah Denmark sendiri tidak berinisiatif menghentikan pembantaian paus dan lumba-lumba yang berlangsung selama bertahun-tahun itu.
Tradisi serupa berlangsung di Taiji, Jepang. Di sana, sekitar 19.000 lumba-lumba dibinasakan saban tahun untuk dimakan. Para nelayan menggunakan metode perburuan yang disebut oikomi, yakni menggiring dan membunuhnya di dekat pantai.
Cara itu membuatnya lebih terkenal dibandingkan dengan perburuan di tempat lain. Para nelayan di Taiji bahkan menganggap perburuan lumba-lumba sebagai warisan budaya yang patut dilestarikan. Sialnya, Pemerintah Jepang mengizinkan pembunuhan massal itu dengan dalih menghormati budaya setempat.
Taiji menjadi sorotan dunia dengan tersiarnya film dokumenter ekologi berjudul The Cove, yang laris keras pada tahun lalu. Film tentang perburuan tahunan ikan lumba-lumba --menyoroti ancaman merkuri-- di Taiji itu adalah hasil investigasi yang pengambilan gambarnya menggunakan kamera tersembunyi.
Film itu menampilkan perilaku sadis para pemburu lumba-lumba dengan menikamnya menggunakan sejenis tombak yang diikat tali, hingga si lumba-lumba sekarat dan mati. Jumlahnya bukan cuma seekor, melainkan puluhan ekor, hingga tampak seperti pembantaian massal.
Film itu meraih Academy Award untuk kategori film dokumenter terbaik pada tahun ini. Namun masyarakat Taiji mengecam teknik sembunyi-sembunyi awak pembuat film itu. Mereka meyakini, perburuan lumba-lumba adalah bagian dari kebudayaan setempat.
Bahkan Wali Kota Taiji, Kazutaka Sangen, menyebutkan bahwa perburuan lumba-lumba di wilayahnya legal dan sudah menjadi tradisi. Dia meminta pihak lain menghormati tradisi itu. "Saya pikir, film itu tidak termaafkan karena memperlihatkan fakta yang tidak didukung bukti ilmiah," ujarnya.